Sign In dan Sign Out (4)

     
City, lights, and hope (Source : Pinterest)

Lilin-lilin berjajar rapi di tiap sudut meja, berdiri tegak menahan panas yang terus menyala. Perlahan-lahan semakin pendek, semakin habis lilin tersebut. Terkadang ketika kita menahan sesuatu, tak sadar sisi lain dari diri kita akan melakukan pengorbanan. Hanya bisa merelakan karena semua itu demi suatu tujuan. Menerangi ruangan yang gelap atau menghidupkan yang mati. Diri ini semakin tak tahu arah, dengan kejadian yang ada. Terlanjur sudah ku memasuki dunianya, yang belum tahu bisa kumiliki atau tidak. Hanya menikmati dilema, tak sadar ada derita yang akan menimpa. Keputusan akan menjadi suatu titik terang atau lubang hitam.
        
Entah sia-sia atau tidak kini ku terdiam sambil mendengarkan lagu dari ipodku. Tak memegangi keyboard komputer, ku hanya duduk di tas rooftop rumah. Tak pernah ku merasa sendiri, ditemani seribu bintang dilangit. Seakan memandang satu arah, ke arah ku. Disatu sisi mungkin ku salah terlalu dalam menyimpan harapan, namun satu sisi lain ingin ku terus melaju tanpa takut akan hasil akhir. Kejadian dikantin kala itu memang cukup membuat hati ini goyah, tekad kuat yang berbulan-bulan ku bangun seakan tak ada apa-apanya. Hanya ada rasa takut yang tersisa, entah apa definisi yang kini ku rasa. Semakin larut malam, kuputuskan untuk mencoba mengungkapkan rasa yang sama sekali tak pernah kulakukan pada siapapun. Mulai dengan nada bodo amat, beranjak ku dari keresahan lalu kunyalakan komputer. Sign kembali diri ini kedalam sosial media, kala itu ku menyampaikan pesan ingin bertemu dengan Nina selepas pulang sekolah.

Black rose (Source : Pinterest)
      
Pagi pun tiba, ku berangkat menuju sekolah seperti biasanya. Kembali tak kuhampiri kantin sekolah pagi itu, hanya berjalan perlahan menuju ruangan kelas. Sudah ada Ferdy dikelas, tanpa basa basi ku diskusikan tentan keputusan yang akan kulakukan. Kata-kata semangat terlontar dari mulutnya, ditambah sedikit pesan “Lakuin aja G, selagi bisa, selagi ada kesempatan, biar tau hasilnya juga. Daripada nyesel belakangan, nyeselnya karena udah ada kesempatan tapi ga dilakuin”. Bulat tekadku, sepanjang jam pelajaran ku mencoba fokus. Sedikit melupakan beban yang ada, ku hanya menikmati masa-masa didalam kelas. Karena masih dalam masa tanpa handphone, ku hanya bergurau bersama teman. Percayalah dalam tawaku, masih ada rasa gundah didalam hati. Hingga jam sekolah pun usai.
                
Kumasukan buku dan alat tulis kedalam tas, sedikit menyiapkan mental dan beberapa hal yang akan ku sampaikan. Tiap langkah yang ku pijak terasa lebih berat dari biasanya.  Berjalan ku menuju tempat pertemuan bersama Nina, yaitu didepan gedung pos yang berada dekat dengan sekolahku. Nina nampak terduduk sendiri disana, tanpa ada yang menemani. Waktu yang kupunya untuk pertemuan itu tak banyak, karena Nina harus pergi menuju tempat bimbelnya. Sesampainya disana kata pertama yang ku ucap hanya “Hai” tanpa ada kata-kata tambahan. “Tumben ngajak ketemuan, ada apaan nih?” ucap Nina setelah membalas sapaanku. Tangan kiri kukepalkan didalam saku celana, setidaknya ada beberapa saat dimana mulutku berhenti bekerja. “Apa kabar Nina hahaha” adalah kata ter awkward yang pernah ku ucap kepadanya. “Lah haha baik kok, jayus amat sih” jawab nina dengan sedikit tertawa. Ku tak tahu harus dimulai dari mana, bodohya diri ini memang. Membiarkan angin mengisi kekosongan obrolan yang seharusnya terjadi. Waktu ku tak banyak, tanpa basa basi tanpa permisi ku berkata “Nin, kamu mau ga jadi pacar aku?”. Sesaat kata-kata tersebut kulontarkan entah mengapa suasana seakan berpindah ke antartika. Entah apa yang ku harapkan melihat ekspresi Nina seakan penuh pertanyaan. “G hey? Ga salah denger nih aku?” ujarnya. Dengan terbata-bata ku mulai menyampaikan beberapa hal yang kusimpan rapih didalam hati. Karena waktu pertemuan ini tak banyak, Nina hanya tersenyum dan berkata “Aku pergi dulu deh yah udah jam 2 nih, bye”.

Olivia Brower (Source : Pinterest)
      
Senyuman Nina memang memiliki sejuta arti, tanpa disadari ku tak tahu apa yang harus ku rasakan. Si bodoh yang hanya bisa berharap, tanpa bisa mengungkapkan. Selepas pertemuan antara ku dan Nina, kuputuskan beranjak menuju warung internet. Walau sebetulnya banyak pekerjaan rumah yang harus kulakukan, ku memilih untuk lari dari kehidupan nyata. Bermain game FPS memang keputusan yang tepat, meluapkan segala emosi kedalam tiap tembakan peluru. Mencoba menikmati game, setidaknya ku lupa akan hal yang tadi kulakukan. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore, walau hati ini belum ingin kembali ke kehidupan nyata tapi ku harus pulang. Seakan mendukung suasana hati, kereta yang kunaiki untuk menuju rumah pun kosong. Tak banyak penumpang disana, lalu kududuk dekat pintu. Soundtrack ku kala itu hanya angin kencang, dan suara gesekan besi yang berasal dari roda dan rel kereta.

Sesampai dikamar, ku buka buku untuk mengerjakan pekerjaan rumahku. Ditemani playlist yang terputar didalam komputerku. Suara notification personal chat pun tiba, dari Nina. “G, kamu bisa aku telpon ga?” ucapnya pada chat. Tak habis akal ku pinjam handphone ibuku, lalu ku telpon Nina. Yah, ia hanya menceritakan kejadian yang dia alami dihari itu. Bagai operator terpaksa ku mendengarkan segalanya. Hingga sesaat sebelum perbincangan berakhir, nina berkata “G, aku gatau juga maksud kamu apa tadi pas ketemu. Maaf kalo tadi aku ga ngomong apa-apa, aku ga nyangka aja kamu bakal ngomong gitu....” dan beberapa hal yang ia ungkapkan. “Aku mau G, jadi pacar kamu”. Tanpa tambahan penjelasan, telepon pun mati. Entah apa yang ada didalam pikiran ku, karena yang ku ingat adalah si bodoh yang hanya bisa berharap ini sekarang cintanya terbalas. Kadang kita merasa bimbang, kadang kita memilih menyimpan sendiri dalam hati, kadang pula kita berdiam diri tak melakukan apapun. Hal sederhana yang banyak dilupakan untuk semua kegelisahan tersebut adalah, mengungkapkanya.



               


Comments

Popular posts from this blog

Amarah, Senyum, dan AIR MATA (4)

Last Tears From 2019.

Self Cure (2)