Sign In dan Sign Out (3)
Sinar
matahari menyinari sebagian sudut bumi, sedangkan sisi lainnya gelap. Udara
yang cukup panas, ditambah sesaknya suasana dalam gerbong kereta yang
kutumpangi. Kursi penumpang pun jarang sekali kosong, selalu terisi bila
jam-jam sibuk tiba. Space yang tersisa hanya area berdiri disekitar pintu
kereta. Disitulah ku berdiri untuk 30 menit kedepan hingga tiba distasiun
rumahku. Silih berganti penumpang, keretaku berhenti di salah satu stasiun. Ada
yang naik, ada pula yang bergegas turun dari kereta. Tapi tetap tak cukup membuat
volume didalam berkurang. Hingga sesampainya di stasiun rumah, ku langsung
bergegas mengambil sepeda yang disimpan di tempat penitipan kendaraan. Membuka
tas, untuk mengambil ipod dan headset. Sesaat ku tarik tas kedepan, kejanggalan
terjadi. Mengapa resleting bagian depan tasku ini terbuka, karena se ingatku
seluruh resleting tasku tertutup rapih saat masih dikereta. Saat ku rogoh tas
ku, handphone bermerek sony ericsson ku hilang. Kucek kembali, tetap tidak ada,
yang tersisa hanya ada dompet dan beberapa lembar uang yang tak kumasukan kedalam
dompet. Sial sekali hari itu, dengan sedikit beban berat ku pulang sambil
mengayuh sepeda. Tangan bergemetar, bukan karena sedang demam. Melainkan
bingung harus kumulai dari mana pembicaraan nanti sesaat tiba dirumah.
Sunyi senyap tak ada nada dering terdengar, dalam seminggu terakhir ku tak lagi membawa handphone. Sejak terakhir ku kehilangan handphone setidaknya beberapa hal sudah tak lagi kulakukan. Salah satunya adalah berkirim pesan singkat dengan Nina. Walau yah ketika disekolah ku masih dapat menyapanya secara langsung. Namun jelas kurasa intensitas komunikasi sedikit berkurang dengannya. Selepas pulang sekolah selalu kusempatkan untuk menyalakan komputer sekedar untuk memeriksa notifikasi sosial media. Setidaknya ipod kesayanganku tak hilang di libas copet. Dunia playlistku masih dapat ku masuki meninggalkan semua keganasan hidup.
Satu bulan sudah sejak pertama ku bertegur sapa dengan Nina, tapi belum juga ku dapat menerjemahkan cinta. Menjadi lebih penakut dan sedikit berputus asa bila dihadapkan dengan kondisi yang ada. Sesungguhnya memutuskan waktu yang tepat adalah hal yang sulit dilakukan oleh diri ini. Problema datang dengan beberapa skenario yang ada, antara Iya dan tidak. Cermin berdiri tegak didepan memantulkan refleksi diri, sejujurnya ku belum siap untuk kembali salah menafsirkan cinta. Perdebatan keras antara beberapa bagian diri ini dengan yang lain. Kuputuskan untuk meminta tambahan waktu, walau tak tahu pasti apakah masih ada waktu untukku.
Dengan sedikit terburu-buru pagi ini, ku tak lagi menghampiri kantin seperti biasanya. Lurus terus ke arah kelas, mengeluarkan buku tulis dari dalam tas. Hari ini ku tidak ingat sama sekali untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dampak dari tidak memeganggi handphone satu bulan lamanya memang menjadi derita. 30 menit kuhabiskan untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Tak lama datang Ferdy memasuki ruang kelas, “G, di cariin Nina tuh nanyain tadi” ujarnya. “Oh yah? Nanyain apa emang?” jawabku dengan penuh harap. “Nanya doang, santay kali semangat amat jawabnya” balas Ferdy dengan nada ledekan. Entah mengapa kabar semakin marak kepermukaan, kebingungan mengapa beberapa orang bisa mengetahui kabar kedekatan kami. Tak banyak dipikirkan hanya ku anggap angin sejuk yang berhembus. Saat pertengahan jam pelajaran berlangsung, kusedikit merasa jenuh. Ditambah guru yang mengajar agak sedikit membosankan untuk disimak. Sedikit kucuri waktu untuk meminta izin ke toilet. Walau tujuanku sebenarnya adalah kantin sekolah hehe. Kubeli cemilan dan sebotol minuman, duduk ku di pojok kantin. Sembari melahap, mata ini tetap siaga bila ada guru yang datang. Beranggapan guru yang datang, namun nampak Nina yang datang. Tak sendiri Nina menghampiri salah satu penjual makanan, melainkan dengan seorang lelaki. Didalam hati ku ucap, siapa dia?.
Siapa
dia? Apa hubunganya denganya? Sepanjang perjalanan pertanyaan itu yang terus
berputar didalam otak. Bagai baling-baling yang berputar pada porosnya. Entah
mengapa hal buruk yang selalu kutulis dalam kerangka skenarioku, tanpa ada nada
bahagia didalamnya. Ku mulai menutup mata dan menganggap semua yang kulihat
hanya ilusi belaka. Hingga sesaat dirumah, ku sign in kedalam yahoo messengerku
tanpa ragu ku tanyakan langsung kepadanya. Tidak-tidak, ku tak siap bila
kutanya langsung. Kuputuskan Naya adalah orang yang cukup tepat untuk tempat
pengaduan. “Nay, sibuk ga?” tanyaku. Tak lama Naya membalas, “Engga kok, lagi
dijalan ke tempat les biola doang ini. Kenapa?” Jawabnya. Tanpa basa basi ku
bertanya pada Naya “Kamu tau ga Nina akhir-akhir ini lagi deket sama siapa?”.
Sekitar 10 menit kemudian Naya menjawab “Emmm kamu kan ih”. Lalu ku jelaskan
tentang apa yang kulihat selepas kejadian dikantin tadi. Bagai intel dalam
militer Naya menjalankan misi dariku yang sekedar ingin tahu. BUZZ! Dengan
bunyi yang nyaring terdengar seisi kamarku, pop up personal chat dari Naya. “Cuman
temen kelas doang kok, tapi gatau juga sih. Makanya cepet nyatain kalo emang
suka” kalimat Naya jelas dan tegas. Relief? I dont feel so. Mungkin hanya
sebagian dari diriku yang merasa lega akan pesan dari Naya. Sisa bagian diriku berkata : Kita takan
pernah bisa mengukur seberapa jauh usaha yang kita lakukan, bila tak kita
lakukan sampai akhir. Sejatinya sekuat apapun manusia, takan pernah bisa
merelakan seseorang yang ia cintai di singgahi sosok lain. Apa ini saat yang
tepat?
Comments
Post a Comment