Pensil dan Kertas (3)
Alunan musik
mengalir ditelinga ku, terputar lagu first date oleh blink 182 pada ipod ku.
Seperti diberikan angin segar ku kembali bersemangat pergi kesekolah. Mengurungkan
niat untuk bolos seperti biasanya, karena tak ingin kehilangan momen lagi.
Bersandar disudut kelas memandang ke arah luar jendela, berharap sang bidadari
turun dari kahyangan. Menjadi sebuah kebiasaan baru bagiku, kebiasaan yang
cukup aneh namun sering kulakukan. Sepanjang hari sepanjang jam pelajaran tak
luput pandanganku ke arah jendela. Hingga bel berbunyi tanda jam sekolah
selesai. Kala itu ku tak langsung
bergegas pergi meninggalkan sekolah, karena ku harus mempersiapkan segala
sesuatu untuk upacara bendera di hari senin nanti. Memang seperti ini kebijakan
disekolah ku, penyelenggara upacara bendera di hari senin dilakukan dengan cara
bergantian tiap minggunya. Ku hanya mengambil bagian pada paduan suara, setidaknya
itu adalah peran yang tidak perlu banyak latihan untuk menguasainya. Hanya
cukup menyubangkan suara tanpa harus melakukan gerakan ekstra.
Terik matahari memaksa kami untuk beristirahat sejenak, keringat bercucuran bak atlit yang sedang berlomba. Ku rogoh uang di dompetku, untuk membeli sebotol minuman. Pergi ku kekantin dengan sedikit terengah-engah. Terduduklah larissa dibarisan meja kantin sekolah, tanpa seseorang pun yang menemani. Pikirku mungkin dia menunggu seorang teman, yang belum datang menghampirinya. Ku ambil jarak seperti biasa untuk memperhatikanya dari jauh. Setelah cukup lama ku mengintai tapi tak seorang pun datang menghampirinya, ia hanya terduduk sambil memegangi handphone. Kuputuskan untuk bergegas keluar sembari menyapanya, “Hei larissa” tambahku “kok sendirian aja, lagi nungguin siapa”. Mengibaskan rambutnya yang terurai panjang lalu menatap ke arahku, “Oh hei G, engga nih hehe lagi nunggu jemputan aja”. Ternyata dugaanku salah dia tak menunggu seseorang untuk datang. Entah apa yang kupikirkan lalu ku meminta izin untuk duduk sembari menemaninya. Percakapanpun terjadi, beberapa hal kuutarakan dengan sedikit selipan humor diantaranya. Tak jarang ia tersenyum dan tertawa dibuatku, tetiba telpon genggamnya pun berdering. “G, aku duluan yah jemputannya udah didepan sekolah” ucapnya sambil memasukan beberapa buku kedalam tasnya. “Oh iyah, ayo bareng aja aku juga mau kelapangan” jawabku. Berjalanlah kami berbarengan menuju ke depan sekolah, beriringan tanpa ada sekat yang menghalangi.
Hari-hari
berikutnya kujalani dengan semangat membara di dada. Interaksi antara larissa
dengan diriku semakin intense, momen ketika berada di kantin sekolah adalah
awal dari interaksi. Bertukar nomor telepon, hingga sosial media kulakukan. Kumulai
sering mengunjunginya di halaman profil facebooknya. Melihat album foto yang ia
upload hingga menuliskan beberapa sapaan pada kolom komen. Larissa adalah
pribadi yang ramah, manis dan cukup cemerlang akademisnya. Melihat senyumnya,
ku membisu. Bagai medusa tatapannya membuatku beku. Dua bulan sudah sejak
pertama ku menyapa, namun tak tahu bagaimana caranya menerjemahkan cinta. Sedikitnya
ku berharap mungkin antara aku dan larissa ada hubungan yang lebih dari sebatas
teman biasa. Dengan segala kemampun yang ada, ku mulai menulis puisi untuknya. Bila
waktu dirasa tepat akan ku berikan langsung padanya.
Jam menunjukan pukul 13:15, hari terakhir ujian akhir sekolah pada hari itu. Ku berjalan keluar sekolah sembari menjijing tas gendong yang salah satu talinya putus. Ku terlalu bersemangat pagi tadi, tas ku tersangkut di gerbang sekolah. Jalur ku menuju keluar sekolah adalah melewati kantin. Seperti biasa ada larissa disana, terduduk sendiri menunggu. Kurasa kertas puisi yang kubuat sudah terlalu lama disimpan. Sedikit cemas namun ku putuskan untuk kuberikan padanya kala itu. “Duluan aja bro, mau beli minum dulu” ucapku pada beberapa teman yang berjalan bersamaku. Langkah kecil namun pasti ku mulai berjalan kearahnya. “Hai “ hanya itu yang dapat ku ucap, “Hei, kenapa tas nya itu kok di jinjing?” jawab larissa sedikit kebingungan. Lalu kujelaskan alasannya, dan mulai lah terjadi perbincangan kecil. “G, kamu tau ga kalo aku lagi deket sama andrian” ucapnya padaku. “Menurut kamu dia kaya gimana orangnya, kira-kira kalo aku sama dia cocok ga yah” tambahnya. Musim panas kala itu mendadak dingin disekujur tubuhku, kala mendengar ucapan yang dilontarkanya. “Heh kok diem, kesambet apa woy” sambil sedikit menyikut bahu ku. “eh iyah maap hahaha, andrian cocoklah. Dia ganteng kamu cantik, apalagi coba haha” jawabku dengan nada candaan. Tak ingin ku merusak kebahagiannya lanjut larissa bercerita tentang sosok pria yang mendekatinya. Tangan kanan yang sudah memegangi kertas, perlahan ku masukan kembali kedala saku celana. Hingga ucapan selamat tinggal tanda perpisahan, perpisahan biasa karena larissa sudah dijemput namun terasa seperti perpisahan selamanya.
Karam sudah kapal
yang ku buat, terbentur dengan kerasnya batu karang yang menghadang. Nyaliku
ciut ketika mendengar kata-kata singkat namun menyayat. Matahari yang biasa
kulihat kini tak seterang biasanya, tertutupi awan mendung disekitarku. Tak
pernah seberat ini perjalan pulang yang biasa ku tempuh, kereta seperti
berjalan lebih lambat dari biasanya. Lagu sendu seakan terputar kencang didalam
otaku. Kertas berisi puisi hanya bisa ku simpan rapih didalam tas. Kukira ini akan mudah. Entah sikap apa yang
harus ku perlihatkan, bahagia meliat ia denganya atau menghilang seakan tak
terjadi apa-apa. Pensil dan kertas,
dan aku hanya sebuah pensil yang mencoba menulis cerita di atas kertas. Tak
bisa permanen, hanya menjadi sketsa dari cerita utama.
Comments
Post a Comment