Amarah, Senyum, dan AIR MATA (4)
Dari seluruh
emosi yang ada, setelah seluruh kemampuan manusia telah diujung batas, ketika
kata tak lagi bisa terucap, ketika tubuh tak bisa lagi bergerak, hingga titik
emosi berada pada puncaknya, yang tersisa hanya air mata. Menuangkan seluruh
perasaan yang dipendam, meneteskan satu persatu rasa yang terpendam lama. Entahlah
indahnya hidup ini mengapa selalu di ikuti sebuah tetesan air mata, mungkin
salah satu bentuk pelampiasan manusia. Entah tentang bahagia, atau sebuah derita.
Air mata hadir mewakili itu semua. Lebih dari sejuta makna, air mata mempunyai
definisi galaksi tak terbatas.
Ku tak tahu harus
dimulai dari mana, tangan ini terasa kaku untuk menuliskan cerita. Membayangkan
banyak hal yang telah ku lalui satu persatu. Antara cerita, realita dan dilema.
Menumpuk banyak pertanyaan, namun tak urung terjawab. Hanya bertambah menempati
ruang kosong membuat tumpukan baru. Berkaitan dengan kehidupanku sekarang, ku
bertanya “Mengapa manusia di ciptakan memiliki sebuah perasaan, mengapa tak
diciptakan dingin sererti layaknya es”.
Kian
hari berlalu, entah mengapa rasa yang dulu pernah ada sekarang terkikis oleh
kehampaan. Tak kupungkiri, perasaan ku terhadap Nina kini tak sama lagi seperti
itu. Akhir-akhir ini ku makin sering bertukar obrolan dengan teman ketimbang
dengannya. Membuka sudut pandang baru, mencari sedikit penyegaran dari hubungaku
yang semakin semu. Sering kali ku mencurahkan isi hati tentang hubunganku
dengan Nina kepada beberapa orang temanku. Dimulai dari 4 serangkai, hingga
Winny yang akhir-akhir ini semakin sering berinteraksi. Terlebih ku pikir Winny
lebih mengetahui pasti tentang cinta, karena mungkin secara garis waktu ia
memiliki pengalaman lebih dariku. Memang ku sadari terlalu fokus ku memikirkan
hubungan dengan Nina, hingga ku lupa ada seorang teman yang bisa menjadi
pelampiasan dikala tak ada lagi tempat bersandar. Entah dengan cara apa
dilakukan hanya untuk menghibur seorang teman. Melepas beban kedalam sebuah
tawa, lepas tak terhalangi kabut gelap.
Selepas tertawa
lepas dari lingkungan seorang teman, kembali ku pulang dan merasakan datangnya
sepi kembali. Entahlah ku bingung dengan semua ini, menjadi tidak percaya
dengan ungkapan cinta akan membawa kebahagiaan. Atau mungkin ada yang salah
dengan diri ku, salah dengan cara ku memaknai itu. Entahlah kuterlalu bodoh
untuk memikirkan hal itu. Sekedar untuk mencari jawaban, ku mulai bercerita
kepada seseorang. Iyah, Winny orang yang tepat pikirku. Disamping kami sudah
saling mengenal satu sama lain, ia adalah seorang teman wanita terdekat yang
bisa ku ajak berbincang. Kadang ku bingung, mengapa rasa kebahagiaan muncul
bukan dari orang yang kita anggap spesial. Melainkan datang dari seorang teman,
bukan dari kekasih hati yang kita idam kan. Semua playlist lagu yang ku dengar
terasa menjadi hambar, tak ada makna sedikit pun yang kudapat dari tulisan
jujur seorang musisi. Malam menjadi waktu tepat untuk duduk termenung,
memikirkan apa yang harus kulakukan. Hingga suatu keputusan dibuat.
Tak pernah ku
sebodoh ini, gelisah ku di buatnya. Kembali ku merasakan takut, takut dengan
semua keputusan yang kulakukan menjadi salah. Ku tak pernah menyalahkan Nina
atas semua ini, hanya diriku yang selalu menjadi penyebabnya. Tak pernah
terbesit sedikitpun untuk menyayat hati seseorang dalam hidup ini. Entah dengan
alasan kebaikan, atau ego ku yang besar. Ku telah membuat hati seorang wanita
terpecah belah. Walau ku tahu kata perpisahaan adalah hal yang dibencinya, tapi
diri ini sudah cukup muak melakukan permintaan maaf. Ku tak ingin kembali
meminta maaf karena seringnya diri ini membuat kesalahan bahkan pertengkaran. Tak
ingin hati tulusnya tersakiti lagi oleh seorang lelaki sepertiku. Lelaki yang
mungkin tak pantas sama sekali menjadi pujaan hatinya. Ku ucap terima kasih
atas semua kesempatan yang telah diberikan padaku, sekaligus melontarkan
permintaan maaf terakhirku padanya. Hingga air mata dari kedua matanya, mulai
menetes membasahi kedua pipinya.
Dalam menjalin
suatu hubungan, secara tidak sadar kita memikul beban tambahan dalam diri. Menambah
satu hal yang harus dipikirkan. Mungkin ego ku terlalu besar untuk itu, diri
ini ku nilai belum cukup mampu untuk menampung banyak emosi. Tak ingin menjadi
beban terhadap orang lain, ku putuskan untuk berpisah. Entah apa yang lebih
menyakitkan dari itu, air mata cukup menggambarkan bahwa hari itu ku sudah
menghancurkan hati seseorang. Tanpa
sepatah kata yang terucap, air mata datang mewakilinya.
Comments
Post a Comment