Sosial Media Penuh Asumsi


Pemandangan pagi dari dalam kereta (Source : Pinterest)

Sosial media, mengapa sosial butuh sebuah media. Berawal dari kehidupan orang-orang yang kian berkembang dan maju, gaya hidup yang sibuk merupakan sebuah tuntutan. Sehingga munculnya masalah baru yaitu sulitnya berkomunikasi. Tak dipungkiri komunikasi merupakan hal penting dalam menjalani kehidupan sosial, baik terhadap keluarga, kerabat bahkan urusan asmara. Hadirnya sebuah teknologi berupa media untuk melakukan aktifitas sosial cukup membantu untuk mengatasi problematika manusia modern kini. Tak terpungkiri datangnya teknologi menciptakan dialtektika nya sendiri, mengatasi masalah modern namun menimbulkan masalah baru lainnya. Apa dengan cara kita berkomunikasi dalam bentuk virtual sudah cukup mengatasi kebutuhan kita akan sosialisasi dan komunikasi?.

Ini keresahanku, dimana kini semua aktifitas dirasa harus direkam dan dibagikan kedalam sosial media. Tak bisakah hidup dengan damai tanpa harus menjadi pribadi penuh prasangka. Kadar toleransi kini tak lagi jadi pertimbangan seseorang dalam menyampaikan sesuatu, semua dipukul rata seakan semua sama. Seperti halnya seorang teman yang sering kali mengunggah aktifitasnya kedalam bentuk format instagram story. Bagiku makna berbagi cerita kini berubah menjadi sebuah label konten pribadi namun dapat lihat banyak orang. Mungkin persepsi setiap orang berbeda, ketika niat awal ingin membagikan tentang perjuangan mendapatkan sesuatu barang menjadi sebuah hal yang di anggap si tukang pamer. Ketika ada teman yang bernarasi mengenai keresahaanya dalam sebuah cuitan, ada yang peduli lalu menanyakan bagaimana kondisinya sekarang. Tapi tak jarang pula yang menganggapnya adalah si tukang cari perhatian. But yha, tak ada yang dapat disalahkan that’s our social media.

Entah hatiku yang sekarang menghitam atau karena terlalu sering melihat sebuah pencitraan. Atau karena memang progres diri ku yang tak secepat kawan sosial media ku. Iri dan dengki memang kadang muncul dan merajang. Tak ada yang patut disalahkan, semua kembali terhadap kadar toleransi setiap orang. Tak berteman pada sosial media bukan tak berteman dalam kehidupan nyata. So im sorry if i choose to not following you, this is my problem who can’t tolerate your content. Mari bercerita secara nyata, bertemu di tempat favorit. Ceritakan kejadian yang sebenarnya apa adanya tanpa perlu merasa insecure. Karena kita hidup di dunia yang sama, mari bertemu. Ini keresahanku.

Comments

Popular posts from this blog

Amarah, Senyum, dan AIR MATA (4)

Last Tears From 2019.

Self Cure (2)