Sosial Media Penuh Asumsi
Sosial media, mengapa sosial butuh sebuah media. Berawal dari
kehidupan orang-orang yang kian berkembang dan maju, gaya hidup yang sibuk
merupakan sebuah tuntutan. Sehingga munculnya masalah baru yaitu sulitnya
berkomunikasi. Tak dipungkiri komunikasi merupakan hal penting dalam menjalani
kehidupan sosial, baik terhadap keluarga, kerabat bahkan urusan asmara. Hadirnya
sebuah teknologi berupa media untuk melakukan aktifitas sosial cukup membantu
untuk mengatasi problematika manusia modern kini. Tak terpungkiri datangnya
teknologi menciptakan dialtektika nya sendiri, mengatasi masalah modern namun
menimbulkan masalah baru lainnya. Apa dengan cara kita berkomunikasi dalam
bentuk virtual sudah cukup mengatasi kebutuhan kita akan sosialisasi dan
komunikasi?.
Ini keresahanku, dimana kini semua aktifitas dirasa harus direkam dan
dibagikan kedalam sosial media. Tak bisakah hidup dengan damai tanpa harus
menjadi pribadi penuh prasangka. Kadar toleransi kini tak lagi jadi
pertimbangan seseorang dalam menyampaikan sesuatu, semua dipukul rata seakan
semua sama. Seperti halnya seorang teman yang sering kali mengunggah
aktifitasnya kedalam bentuk format instagram story. Bagiku makna berbagi cerita
kini berubah menjadi sebuah label konten pribadi namun dapat lihat banyak
orang. Mungkin persepsi setiap orang berbeda, ketika niat awal ingin membagikan
tentang perjuangan mendapatkan sesuatu barang menjadi sebuah hal yang di anggap
si tukang pamer. Ketika ada teman yang bernarasi mengenai keresahaanya dalam
sebuah cuitan, ada yang peduli lalu menanyakan bagaimana kondisinya sekarang. Tapi
tak jarang pula yang menganggapnya adalah si tukang cari perhatian. But yha,
tak ada yang dapat disalahkan that’s our social media.
Entah hatiku yang sekarang menghitam atau karena terlalu sering
melihat sebuah pencitraan. Atau karena memang progres diri ku yang tak secepat
kawan sosial media ku. Iri dan dengki memang kadang muncul dan merajang. Tak ada
yang patut disalahkan, semua kembali terhadap kadar toleransi setiap orang. Tak
berteman pada sosial media bukan tak berteman dalam kehidupan nyata. So im
sorry if i choose to not following you, this is my problem who can’t tolerate
your content. Mari bercerita secara nyata, bertemu di tempat favorit. Ceritakan
kejadian yang sebenarnya apa adanya tanpa perlu merasa insecure. Karena kita
hidup di dunia yang sama, mari bertemu. Ini keresahanku.
Comments
Post a Comment