Distraction is the Answer For a Loser


Pemandangan pagi dari dalam kereta (Source : Personal Footage)

Pagi itu sesak sekali, orang-orang saling bersikutan, hanya sedikit teritori untuk kaki ini berdiri dan akan bertambah riuh ketika kereta berhenti distasiun berikutnya. Hari senin selalu menjadi hari yang melelahkan bagiku tak jarang ku bangun lebih pagi dan bergegas untuk pergi mengantri tiket kereta. Pukul 4 adzan berkumandang, ya pada jam itulah ku sudah bergegas untuk memburu tiket untuk pergi sekolah. Jam 5:15 adalah jadwal keberangkatan kereta paling pagi dari rumahku menuju kota Bandung. Ku jalani kehidupan seperti ini sedari SMP namun entah mengapa kian taun penumpang semakin bertambah tanpa adanya siasat yang baik dari PT. KA Indonesia. Bila sempat ku mandi terlebih dahulu baru membeli tiket, atau sebaliknya ku pergi membeli tiket lalu bergegas pulang untuk mandi. Tak ada waktu untuk tidur kembali atau bahkan sekedar melamun di atas kasur. Perjuangan ini kulakukan sebatas untuk pergi menuntut ilmu di bangku sekolah. Kadang ku merasa heran terhadap teman-teman sebaya ku yang jarak rumah dengan sekolah masih bisa di hitung dengan kilometer dan masih terlambat datang ke sekolah. Mungkin mereka tidak merasakan rasanya kehabisan tiket kereta dan terpaksa untuk berangkat lebih siang ke sekolah, atau di tengah-tengah perjalan kereta yang ditumpangi mengalami gangguan teknis sehingga terjebak tak bisa melanjutkan perjalanan, bahkan walau sudah bersiap dan berhasil mendapatkan tiket paling pagi namun keretalah yang datang terlambat.

Schedule are not scheduled (Source : Personal Footage)


Karena kereta ku tiba di stasiun kiaracondong lebih cepat dari biasanya, aku dan Jo menghampiri warung yang letaknya tepat didepan stasiun. Menyantap sedikit gorengan dan lontong untuk sarapan dilanjut sebatang gudang garam filter dan segelas teh manis hangat. Kala itu Jo sedang bercerita tentang kisah asmaranya yaitu teman satu kelasnya juga. Lucu memang tapi kisahnya mungkin tak lama akan ku alami. “Entah kapan rasa itu datang, ku merasa nyaman saat berbincang dan bergurau dengannya” ucap Jo. Pada kisah Jo yang menjadi sebuah keraguannya adalah perbedaan keyakinan. Sinta adalah wanita yang sedang dekat dengannya, mereka sama-sama satu kelas di sekolah, yang hanya terpisah oleh satu bangku. “Cinta mah gapunya agama Jo, yang punya agama mah orang. Kalo landasan maneh emang pengen Sinta jadi pacar maneh yah hajar lah, bisi kaburu ku aing” sedikit berguran ku memberi saran yang sebenarnya tak kupikirkan lebih jauh. Jo adalah seorang lelaki keturunan Batak yang tinggal satu komplek dan kebetulan satu sekolah juga denganku. Percakapan pagi hari termasuk pola sarapan ku, yang cukup membuat batin ku hangat. Sehabisnya teh dalam gelas, kami bergegas pergi kesekolah menggunakan angkot 01 Cicaheum – Kebon Kalapa.

Lewat pintu samping komplek sekolahku yang tepat di depan Masjid Jend. Sudirman. Tepat di depan sekolah karena ku tak datang lebih pagi keadaan sudah mulai ramai. Dan disuguhi pemandangan Himawari turun dari boncengan motor. Benar, ia datang diantar oleh seorang pacar. Mixed feeling, “Usah bingung lah lagian siapanya maneh bro”. Pergi ku menaiki tangga menuju kelas lalu entahlah ku sedang ingin duduk di barisan belakang tepat disamping jendela. Datang temanku Hadi lalu duduk disampingku, yang entah keberadaannya sangat aneh. Ia baru bergabung di kelasku pada hari kedua saat semester baru ini dimulai. Hadi dipindahkan dari kelas IPS yang sebelumnya ia pilih. Anehnya tak lama kami cepat akrab hingga kalimat “Bro si Hadi datang moal?” sering di tanyakan padaku dikala ada suatu acara. “Bray, lau kan sekelas ama si Coy waktu kelas 10, doi gimana sih orangnya” Tanpa berlama-lama ku bertanya padanya. Satu jam pelajaran kami habiskan hanya untuk membicarakan Himawari dan satu jam itu kami tak belajar apa-apa hahaha.

Random thot's (Source : Personal Footage)


Semangat belajar memang meningkat kala ku menemukan lingkungan yang nyaman, namun fokus ku terganggu dengan sebuah tanda besar tentangnya. Tak punya cukup kemampuan untuk ku tunjukan di kelas, hanya bisa menjadi pusat perhatian dari hasil candaan ku. Sejauh ini usaha yang ku lakukan adalah mencoba untuk menghilangkan fokus ku terhadapnya. Akibat intensitas pertemuan kami yang sangat ketat hal ini terasa lebih berat dari biasanya. Suatu ketika fokusku mulai bisa teralihkan kala perbincangan dengan teman kelas 10 ku terjadi. Yaitu membahas angkatan 2014, adik kelas. Entah bagaimana ada saja cara teman ku mendapatkan seorang kenalan, bukan seorang bahkan sejumlah kenalan anak kelas 10. Hadir wanita berambut pendek yang tak sampai bahu ditunjukan oleh salah satu teman dalam handphone miliknya. Tak ku ungkap secara langsung namun hati kecil berkata “Gadis yang manis”. Ayu, seperti namanya dia memang cukup ayu dimataku. Tak lengah ku menatap fotonya yang memang cukup menjadi khayalan belaka, tanpa pernah menjadi nyata sesuai dengan keinginan hati.

Comments

Popular posts from this blog

Amarah, Senyum, dan AIR MATA (4)

Last Tears From 2019.

Self Cure (2)